6 Indikator Lain untuk Memprediksi Default dan Bubble

Untuk mengantisipasi kegagalan pembayaran, berbagai indikator dipakai dalam analisa kredit. Berikut 6 indikator lain untuk memprediksi default dan bubble, yang meskipun tidak secara langsung menganalisa capacity dan collateral namun juga terbukti akurat mengantisipasi resiko kredit*:
  1. Debt Equity Ratio. Perbandingan antara besarnya total hutang dibandingkan dengan asset yang dapat diamankan memiliki angka keramat 30%, dan indikator kunci sederhana ini sangat sulit dipenuhi ketika sebagian besar Debitur tidak memiliki single identity, tidak memiliki credit history yang terpusat, akurat, up-to-date dan dapat diandalkan seperti halnya di Indonesia. Karena kesulitan ini maka indikator ini sering diganti dengan indikator kesehatan (dan kewajaran) keuangan yang lain seperti butir 2 di bawah ini.
  2. Price to Income Ratio. Tidak seperti LTV atau Down-payment yang mengukur affordability dalam hal angsuran, rasio nilai pembiayaan terhadap penghasilan ini mengukur affordability dalam spektrum luas. Acuan umum yang dapat dipakai adalah “rumusan employee benefit” yaitu 10-50x penghasilan.
  3. Price Earnings Ratio. Diturunkan dari rasio PER, nilai angsuran dibandingkan dengan nilai rental asset dibiayai merupakan ukuran ketika asset harus menutup cash flow, yaitu kondisi ketika capacity telah gagal dan pengembalian hutang harus bersandar kepada capital.
  4. Sensitivitas Usaha terhadap Krisis. Sektor usaha tertentu terbukti merupakan sektor yang kebal krisis. Karyawan dengan penghasilan tetap dari industri perbankan adalah favorit consumer loan. Jenis pekerjaan dan industri ini merupakan contoh sensitivitas yang rendah terhadap krisis.
  5. Collateral Value & Liquidity. Jaminan yang memilii demand besar dengan nilai depresiasi rendah adalah salah satu resep keamanan pinjaman. Asset tertentu terbukti stabil nilainya karena 2 hal, karena nilai intriksiknya yang berlawanan dengan arah krisis dan karena segmen pembelianya yang tetap memiliki daya beli. Contoh klasiknya adalah saat krisis terjadi, harga rumah ambles dan harga emas membumbung, di krisis yang lain semua harga asset melemah kecuali USD. Contoh lainnya adalah nilai tas premium yang tak kunjung turun meski terjadi gejolak keuangan (hanya shadow banker yang “menerima” kategori aset ini).
  6. Faktor Struktural atau B2B Relationship. Saat krisis terjadi, industri yang umumnya dipertahankan pemerintah adalah perbankan, dan ritel yang menyasar grass root. Selain industri tersebut, beberapa sektor akan mempertahankan sektor lainnya yang terkait. Pembiayaan properti akan terus dipertahankan (tidak akan bubble atau disangkal terjadi bubble) oleh developer sebab >50% pembelian property melalui kredit, dipertahankan bersama bank tentunya bilamana developer adalah customer utama kredit komersialnya, dan KPR adalah consumer loan utama –nya. Kasus yang sama juga terjadi pada KKB, kerugian perusahaan Multifinance akan “dibantu” oleh ATPM dan bank, mengingat multifinance adalah saluran utama kredit perbankan.

*) Selain indikator yang umum dipakai, seperti down-payment atau loan-to-value atau debt to underlying asset ratio