16 Hal yang Dapat Meminimalkan Kecurangan dalam Pengucuran Kredit


Kecurangan dalam pengucuran kredit (credit fraud), entah dilakukan oleh pihak internal atau eksternal perusahaan seringkali sesungguhnya dapat dicegah dengan mengupayakan hal-hal berikut:
  1. Screening Aplikasi Kredit dengan catatan kredit pada masa lalu. Catatan kredit sebelumnya baik milik perusahaan atau pihak ekternal (Credit Bureau misalnya) menunjukkan perilaku Calon Debitur. Selain perilaku pembayaran cicilan, perilaku lainnya yang anomali bisa jadi mengindikasikan kecurangan, seperti pergantian Appraiser, agen penjualan yang sama, perubahan identitas, pencatatan keuangan yang abnormal, dan lain-lain
  2. Mengenal Perantara Penjualan. Perantara penjualan dapat berupa Agent atau Salesman dari Dealer (Kredit Kendaraan Bermotor), dan Developer (Kredit Property), atau pihak lainnya yang memungkinkan penjualan terjadi. Perusahaan harus mampu menilai apakah perantara penjualan hanya mementingkan aspek penjualan jangka pendek atau bertanggungjawab terhadap pertumbuhan penjualan dalam jangka panjang, serta apakah mereka berfokus kepada kualitas dan membangun hubungan yang saling menguntungkan
  3. Mengenal Appraiser. Kualitas dan nilai pasar jaminan berpengaruh besar terhadap besarnya kredit yang dikucurkan, oleh sebab itu “permainan” dalam hal jaminan lazim terjadi. Appraiser yang minim kecurangan umumnya adalah mereka yang terbukti telah lama berbisnis sebab bisnis ini sangat tergantung nama baik atau reputasi
  4. Menempatkan Staf dengan mendahulukan kejujuran dan kualitas kredit daripada sales. Staff akuisisi kredit mulai dari Sales, Surveyor, sampai dengan Analyst harus memiliki rekam jejak teruji dalam hal kejujuran, netralitas, dan kemampuannya mengenali potensi kecurangan
  5. Mengenal gaya hidup Staf. Selain kemampuan dan kinerja historis dari staf, perusahaan perlu meyakinkan bahwa mereka memiliki gaya hidup yang sesuai dengan penghasilannya. Ketidaksesuaian gaya hidup dan penghasilan kemungkinan besar mengindikasikan kecurangan
  6. Mengikuti prosedur baku. Prosedur standar dibuat berdasarkan common case, dan telah memilkirkan upaya mengamankan potensi kecurangan (common sense), oleh sebab itu deviasi apapun berpotensi mengarah kepada kecurangan sehingga harus diperhatikan. Demikian pula prosedur penanganan deviasi juga harus berprinsip kejujuran, keamanan dan kualitas kredit daripada kecepatan
  7. Persetujuan berjenjang sesuai resiko, kecakapan dan tanggungjawab. Birokrasi pada Komite Kredit harus merefleksikan resiko default, resiko kecurangan, dan kecakapan serta tanggungjawab Komite Kredit, buka hanya sebagai tangga wewenang untuk mengukuhkan job position
  8. Mendorong karyawan untuk mematuhi aksioma dasar pemberian kredit “jika tidak masuk akal, jangan memberikan kredit”. Aksioma kredit ini yang harus menjadi bagian dari budaya perusahaan (credit culture), terutama yang terkait dengan akuisisi kredit sehingga semua orang memiliki kesamaan cara berpikir dan memandang segala sesuatunya terhadap resiko kecurangan
  9. Evaluasi atas kinerja yang ekstrem. Kinerja akuisisi kredit yang terlalu buruk seringkali dibedah untuk mengetahui ada tidaknya kesalahan underwriting ataupun kesalahan akibat kecurangan; sebaliknya kinerja yang bagus jarang sekali dibedah. Perlu disadari bahwa kinerja yang “terlalu” bagus seringkali menyembunyikan resiko yang juga tidak wajar
  10. Quality Control berdasarkan Peran (Role) dalam proses akuisisi kredit. Untuk memastikan upaya deteksi dan pencegahan kecurangan efektif dan mendorong pertanggungjawaban maka Satuan Analisis -nya haruslah berdasarkan Peran (Role) dalam akuisisi kredit seperti: Cabang, Dealer, Developer, Agent, Salesman, Surveyor, Appraiser, Credit Analyst, dan anggota Komite Kredit lainnya
  11. Hukuman yang proporsional. Konsekuensi kecurangan harus disosialisasikan dengan jelas dan mencakup sanksi yang berdampak jangka panjang, finansial maupun non finansial sesuai kerugian yang ditimbulkannya. Sanksi yang “terlalu” keras atau tidak proporsional akan menimbulkan kekakuan birokrasi, dan menghambat empowerment
  12. Insentif yang konstruktif. Insentif dibagun untuk menjadi motivator perubahan perilaku manusia. Jangan sampai insentif mendorong perilaku dan gaya hidup hedonis (berlebihan), tamak, tidak taat asas dan fokus jangka pendek
  13. Rotasi pekerjaan. Rotasi mengantisipasi terbangunnya jaringan yang sistematis, sebab kecurangan umumnya tidak dilakukan seorang diri. Rotasi juga “memaksa” penyebaran kemampuan, melengkapi kemampuan dan meminimalkan ketergantungan pada pekerjaan-pekerjaan operasional
  14. Menggunakan vendor dengan rotasi terus menerus. Beberapa kecurangan terjadi karena perusahaan gagal mengontrol peran yang ada, oleh sebab itu bila bukan proses dan kompetensi inti maka dapat di-alihdayakan kepada vendor di luar perusahaan dengan memperhatikan rotasi
  15. Program whistle-blowing dan perlindungan pelapor/ saksi. Program kesadaran bahaya kecurangan, disertai program yang memberi tempat bagi whistle-blower dan sekaligus melindunginya akan memungkinkan pengawasan oleh semua pihak
  16. Satgas cepat tanggap untuk meminimalkan kerugian. Seringkali aktivitas mengejar pelaku kecurangan dan meminimalkan dampaknya terkendala oleh sekat birokratis, oleh sebab itu satuan tugas dengan wewenang khusus perlu dibentuk dengan berorientasi kepada recovery