9 Hal di Balik Keengganan Penerapan Statistical Application Scoring

Aplikasi kredit perlu dianalisa untuk menentukan apakah permohonan kredit tersebut layak diterima atau ditolak. Berbagai pendekatan dapat dipakai untuk melakukan analisa ini, namun demikian perkembangan dewasa ini mengarah kepada pemodelan yang obyektif dengan mempergunakan data internal dan dilakukan dengan metode statistik. Meski BIS (Bank of International Settlement) telah menganjurkan pendekatan ini, beberapa alasan terus dikemukakan untuk menunda implementasinya. Dibalik alasan keengganan tersebut umumnya terdapat hal-hal berikut yang mendasarinya, yang kontra produktif terhadap pengucuran kredit yang prudent:
  1. Dasar persetujuan kredit oleh Kreditur lebih banyak ditentukan faktor struktur industri. Di Indonesia ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) mendorong pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor dengan mendirikan perusahaan pembiayaan. Jadi akuisisi Debitur menjamin penjualan unit. Hal serupa juga terjadi pada konglomerasi yang sangat umum memiliki lini usaha property dan perbankan, 2 sektor usaha yang tumbuh bagai jamur di musim hujan sejak era bunga murah. Kondisi ini membuat kualitas kredit yang buruk dikompensasi oleh lini usaha utama sehingga dalam jangka panjang konglomerasi memiliki pertumbuhan positif dan bila krisis perbankan/ ekonomi mendera maka usaha perbankan menjadi sandera untuk mendorong pemerintah melakukan bail-out
  2. Dasar akuisisi kredit lebih banyak ditentukan faktor jaminan. Besarnya resiko kredit ditentukan dari rumus berikut: PD x EAD x LGD. Ketika Kreditur memberikan persetujuan karena nilai pasar dan likuiditas Jaminan, maka upaya untuk memahami dan mengantisipasi kemungkinan default (PD: probability of default) tidak lagi penting
  3. Kreditur percaya bahwa Market Risk di dalam Jaminan dapat diantisipasi sempurna. Ketika Jaminan menjadi solusi utama default, Kreditur harus mampu melikuidasi jaminan minimum sebesar saldo pokok hutang. Masalahnya adalah nilai pasar dari jaminan, meskipun jaminan berupa tanah dan bangunan (TB), namun terbukti nilainya bisa turun. Sebelum krisis property di Amerika Serikat, semua investor meng-agungkan emas dan property sebagai asset safe heaven yang tak tergantikan. Dari masa krisis sampai sekarang, ke-2nya terbukti nilainya bisa turun dan dapat dipermainkan oleh investor besar. Di Indonesia nilai TB yang selama ini selalu naik, diprediksi stagnan bahkan terkoreksi 20% untuk tahun 2014 s/d 2016
  4. Kreditur percaya bahwa Calon Debitur tidak melek finansial. Pada Application Scoring yang non statistik, yaitu yang disusun berdasarkan pengalaman ahli maka keunggulan analisa diperoleh bila ahli ini memang “lebih pandai” dari Calon Debitur. Dengan Calon Debitur yang semakin canggih, terutama pada Commecial dan Corporate Loan hampir tidak mungkin Kreditur "memintari" Calon Debitur sejauh pertimbangan Scoring yang dipakai adalah textbook Credit Risk Management yang sama. Parameter pada textbook dapat dipelajari baik oleh Kreditur maupun Calon Debitur untuk melakukan window dressing, seperti DSR, DER, ROE, ROS, Cash Ratio dan lain-lain
  5. Investasi pada Data Management dan perangkat pendukungnya. Statistical Application Scoring membutuhkan data Calon Debitur yang lengkap, akurat dan terkini. Untuk memiliki data tersebut, Kreditur harus memiliki sistem pengelolaan data yang baik meliputi hardware, software, disiplin karyawan dan kebijakan tersendiri. Selain pengelolaan data, dibutuhkan juga LOS (Loan Origination System) yang baik mencakup perangkat data capture, survey, dan analisa yang terintegrasi dari Marketing sampai penyelesaian kredit
  6. Pengelolaan Budaya “Speak by Data”. Persetujuan kredit umumnya dilakukan oleh “ahli” dengan tacid knowledge-nya sendiri yang subyektif. Implementasi Statistical Application Scoring membuat perusahaan memiliki knowledge berdasarkan obyektivitas data dan metodologi
  7. Rendahnya otoritas Direktorat Resiko. Kreditur umumnya masih menomorduakan Direktorat Resiko, bahkan ada yang hanya berfungsi mengeluarkan kebijakan dan mempresentasikan parameter resiko saja. Dalam hal Credit Risk, Direktorat Resiko hanyalah macan ompong bila tidak memiliki kemampuan operasional menerima atau menolah permohonan kredit, tanpa kemampuan untuk melakukan monitoring, evaluasi dan menjatuhkan sanksi kepada semua pihak yang terlibat
  8. Kreditur tidak harus memenuhi persyaratan Advanced IRB (Internal Rating Based) dan tidak berusaha menurunkan pencadangan default. Perbankan Eropa dan Amerika sejak sebelum krisis 2011 telah mengarah kepada Advance IRB, yang mensyaratkan diberlakukannya sistem mitigasi resiko internal pada setiap Kreditur. Di lain pihak Bank Indonesia tidak tegas sehingga implementasinya tertatih-tatih
  9. Minimnya Risk Review Lembaga Pengawasan Lembaga Keuangan. Kreditur masih diberi keleluasaan oleh OJK, Bank Indonesia atau Kementerian Keuangan untuk sekadar melaporkan besarnya default dan NPL (Non Performing Loan), tanpa pembuktian lebih lajut. Hal ini tentunya akan segera berubah dengan semakin meningkatnya bahaya penjalaran krisis keuangan dunia yang telah mendorong munculnya Basel-III
Ilustrasi dari http://www.independent.ie/opinion/analysis/laura-noonan-new-reality-for-banks-as-regulator-wields-big-stick-26662146.html